Pluralisme; Harga Mati Untuk Indonesia

Hidup memang bukan hamparan warna yang seragam. Kita pasti berbeda, karena dengan perbedaan kita bisa saling menghargai dan saling melengkapi. Celakanya, justru dengan perbedaan itu pula banyak orang yang justru menikam sesamanya. Disetiap kolong status sosial tertentu, orang bisa saja tenggelam dalam tindak kejahatan yang mengerikan. Tetapi segalanya lebih bergantung pada kehendak. Karena baik buruk perangai kita, bermula dari kehendak kita.

Penggalan paragraf diatas setidaknya mewakili kegamangan para kaum muda penggiat pluralisme saat ini. Wacana pluralisme dari hari kehari memang terus bergulir. Banyak seminar, diskusi, kajian dan event-event yang sudah dilakukan baik dalam skala nasional maupun internasional. Pada awalnya gerakan seperti ini memang mendapat penentangan yang lumayan signifikan dari sebagian kelompok. Tapi hal itu harus disikapi secara sederhana dan terbuka, bahwa sebesar apapun rintangan yang dihadapi, pluralisme harus terus dibumikan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menyebar luaskan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya sikap optimis dalam menghadapi kemajemukan bangsa sebagai penyokong proses demokrasi dibumi ini. Terlebih dalam Islam, penyebarluasan wacana pluralisme yang berbasis pesan-pesan dasar Islam, dapat menumbuhkan sikap keberagaman yang terbuka, serta membangun jaringan inteligensia antar umat di seluruh Indonesia.

Dasar pemikiran diatas dirasa sangat penting melihat banyaknya pertentangan wacana, gerakan politik dan konflik yang terjadi di masyarakat sipil dewasa ini. Meski revolusi komunikasi dan informasi telah meningkatkan kesadaran akan kemajemukan masyarakat pada semua level, ternyata pada kenyataannya masih banyak kelompok ataupun individu yang belum menganggap kemajemukan sebagai kenyataan yang positif dan harus disikapi secara arief dan bijaksana demi menjaga kesatuan Indonesia yang sudah dicitakan para leluhur bangsa ini sejak dahulu kala.

Indonesia dan Masalah Pluralisme
Mengenal kemajemukan (pluralitas) tidak sama dengan mengakui, memahami, dan menyakininya sebagai suatu kenyataan yang mengandung kebajikan. Karena itu, perjuangan dalam menyebarluaskan nilai-nilai positif kemajemukan, tidak akan pernah kehilangan relevansi dan urgensinya. Kenyataan sosiologis negeri ini menunjukkan bahwa euforia reformasi yang terjadi sekitar tahun 1998, telah membuka peluang kebebasan dan pengungkungan atas kebebasan sekaligus. Suara-suara bising (noisy voices) muncul dari hampir semua individu dan kelompok yang pernah terkekang beberapa dekade sebelumnya. Ekspresi yang mereka tunjukan bisa muncul berupa ceramah dan tulisan penuh kecaman dan hujatan, maupun aksi bersenjata, pemboman, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama salah satunya.

Melihat tingginya intensitas konflik yang terjadi yang berhubungan dengan pluralitas akhir-akhir ini baik di Ambon, Poso, dan beberapa daerah lain, muncul pertanyaan mendasar ketika kita menyinggung hal tersebut, mengapa pluralisme bisa menjadi sumber konflik dan sulit untuk diatasi meskipun berbagai cara sudah ditempuh baik melalui jalur pemerintah maupun keagamaan?.

Faktor yang paling fundamental untuk menjawab pertanyaan diatas salah satunya adalah karena adanya ketegangan antara realita pluralis dengan pemikiran uniformis. Bahwa realita bangsa ini terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, budaya, agama dan strata sosial adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Tetapi, alih-alih berjuang demi menjaga keutuhan negara, sebagian kelompok justru mempunyai pandangan yang berbeda. Ada satu keinginan yang kuat dari sebagian mereka untuk menjadikan bangsa ini menjadi satu warna dan memaksa orang lain untuk mengikuti atau keluar dari kelompok mereka.
Ketegangan itu semakin diperkuat pula oleh pemahaman sempit sebagian orang akan makna pluralisme di Indonesia. Akibatnya, sikap terbuka dan pluralisme dalam bermasyarakat menjadi makin sulit terwujud. Tidak hanya sampai disitu, pemahaman makna dan maksud pluralisme dan kebebasan beragama pada level elite dan kaum terdidik pun masih bermasalah. Pada titik inilah pentingnya peran sinergis generasi muda dan tua dalam meluruskan kekeliruan berpikir (fallacies) tentang pluralisme.

Belajar Bernegara Kembali
Melihat kenyataan yang terjadi, tampaknya kita harus kembali belajar bernegara. Karena beberapa peristiwa yang terus memanas akhir-akhir ini sudah cukup menjadi bukti betapa banyak kelompok di negeri ini yang gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.
Konstitusi kita jelas-jelas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD 1945: Pasal 29, Ayat 2). Tapi, para tokoh agama negeri ini justru lebih sering melecehkan rumusan itu dengan mengintimidasi dan melakukan tindakan kekerasan. Daripada mencoba memahaminya sebagai sesuatu yang mempunyai nilai kemanusiaan yang sangat tinggi.

Sebagai generasi muda, agaknya kita memang harus belajar lagi tentang Indonesia kita, mengkaji ulang tentang cita, harapan serta semangat yang tertanam dalam jiwa para founding fathers negeri ini, juga tentang bagaimana membangun sebuah negara modern yang bisa membawa kedamaian dan keberkahan bagi umat yang menghuninya.

Negara modern, dalam konsensus ilmuwan politik dan umat manusia kini, tidak bisa lagi dibangun atas dasar ideologi keagamaan tertentu, apalagi yang sendi-sendinya diambil dari abad pertengahan. Negara modern membutuhkan aturan dan perundang-undangan yang dibuat serasional mungkin dengan memperhatikan semua elemen didalamnya.

Pancasila yang sedari dulu dijadikan falsafah hidup dalam bernegara, seharusnya terus dipertahankan. Karena dari situlah kita bisa mulai belajar untuk mengenal kemajemukan negeri ini, mulai menghargai orang lain, belajar tentang kemanusiaan dan yang lainnya. Kita jangan lagi terjebak dalam urusan fatwa, rancangan undang-undang yang ga jelas juntrungannya, atau memilih menghabiskan energi kita untuk mencari kebenaran agama yang; lazimnya menjadi soal pribadi setiap warga negara.

Saat ini, meluruskan pemahaman masyarakat tentang pluarisme lebih penting adanya. Karena hidup memang bukan hamparan warna yang seragam. Kita pasti berbeda, tapi perbedaan yang kita punya bukan untuk dibandingkan semata, melainkan untuk disandingkan. Dari perbedaan itulah kita bisa saling menghargai dan saling melengkapi. Bukan untuk saling memperdayai. Mari kita bumikan kembali pluralisme yang sudah menjadi harga mati bagi bumi Indonesia.

Bravo pluralisme!!!

Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment