Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan; Pluralisme dan Kebhinekaan Indoneisa


Hidup memang bukan hamparan warna yang seragam. Kita pasti berbeda, karena dengan perbedaan kita bisa saling menghargai dan saling melengkapi. Celakanya, justru dengan perbedaan itu pula banyak orang yang justru menikam sesamanya. Disetiap kolong status sosial tertentu, orang bisa saja tenggelam dalam tindak kejahatan yang mengerikan. Tetapi segalanya lebih bergantung pada kehendak. Karena baik buruk perangai kita, bermula dari kehendak kita.


Penggalan paragraf diatas setidaknya mewakili kegamangan para kaum muda penggiat pluralisme saat ini. Wacana pluralisme dari hari kehari memang terus bergulir. Banyak seminar, diskusi, kajian dan event-event yang sudah dilakukan baik dalam skala nasional maupun internasional. Pada awalnya gerakan seperti ini memang mendapat penentangan yang lumayan signifikan dari sebagian kelompok. Tapi hal itu harus disikapi secara sederhana dan terbuka, bahwa sebesar apapun rintangan yang dihadapi, pluralisme harus terus dibumikan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menyebar luaskan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya sikap optimis dalam menghadapi kemajemukan bangsa sebagai penyokong proses demokrasi dibumi ini. Terlebih dalam Islam, penyebarluasan wacana pluralisme yang berbasis pesan-pesan dasar Islam, dapat menumbuhkan sikap keberagaman yang terbuka, serta membangun jaringan inteligensia antar umat di seluruh Indonesia.

Berangkat dari pemikiran diatas, kiranya menarik sekali dicermati kehadirannya sebagai penawar, harapan positif, bagi kalangan penganut agama dan agamawan atau dunia keagamaan dalam merenda kehidupan keberagamaan yang lebih kualiatif pada masa mendatang, terlebih melihat banyaknya pertentangan wacana, gerakan politik dan konflik yang terjadi di masyarakat sipil dewasa ini. Meski revolusi komunikasi dan informasi telah meningkatkan kesadaran akan kemajemukan masyarakat pada semua level, ternyata pada kenyataannya masih banyak kelompok ataupun individu yang belum menganggap kemajemukan sebagai kenyataan yang positif dan harus disikapi secara arief dan bijaksana demi menjaga kesatuan Indonesia yang sudah dicitakan para leluhur bangsa ini sejak dahulu kala.

Paling tidak, jika Arnold J. Toynbee dan beberapa penggiat pluralisme dinegeri ini seperti Cak Nur, Ahmad Wahib dan yang lainnya kemudian mempertanyakan "apakah ada harapan baik bagi kehidupan beragama di masa depan? atau pertanyaan yang lebih prinsipil lagi: “adakah kebaikan dalam kehidupan keagamaan bagi generasi yang akan datang" ?, maka kesungguhan dan keseriusan mengembangkan wacana pluralisme berikut pembumiannya dapat digarisbawahi sebagai sebuah usaha apresiatif dengan bobot sensifitas dan kontekstualitas yang luar bisa.

Today’s Problem Come from Yesterday’s Solution
Mencermati masalah bangsa ini dari masa ke masa, memang cenderung terulang sama dimasa yang akan datang, seperti kemiskinan, korupsi, pendidikan rendah, gizi buruk dan konflik yang berbau SARA. Hal ini akibat dari ketidaksiapan dan kurangnya sense of belonging dari para punggawa bangsa ini dalam menyelesaikan setiap masalah, sehingga ekses dari masalah-masalah tersebut seolah menjadi sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan dapat menciderai siapapun.

Dalam catatan Peter M. Senge seorang penulis buku best seller The Fifth Discipline “the art and practice of learning organization”, dikatakan “….basically, today’s problem comes from yesterday’s solution" ; bahwa setiap permasalahan yang timbul saat ini ternyata tidak semata-mata timbul dari apa yang kita lakukan sekarang, akan tetapi semua itu lebih disebabkan karena cara penyelesaian masalah yang dilakukan oleh para police maker sebelumnya tidak dilakukan dengan cara yang tepat dan benar.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa lampau dalam usaha menangani masalah yang terjadi saat itu tidak berorientasi kepada perbaikan yang lebih jauh. Semua orang hanya sampai pada pikiran bagaiman cara menyelesaikan masalah hari ini, tapi tidak kemudian berfikir apakah penyelesaian hari ini akan berdampak positif atau negative dimasa yang akan datang.

Di Indonesia misalnya, kehendak tulus mengembangkan wacana ini adalah sebuah pilihan sikap dan manifestasi responsibility sosok kompartemen warga bangsa yang memiliki sence of pluralism. Apalagi kehendak itu hadir di saat kondisi bangsa – yang lebih dari satu dasawarsa belakangan secara tak henti-hentinya – dihadapkan pada sederet turbulance dengan platform SARA (suku, Agama, ras, antar golongan) dan tingkat varitas konflik sosial (ekonomi, politik, hukum) yang teramat kompleks, tak teridentifikasi.

Kontradiksi yang berujung ambiguisme. Sebagai misal, dalam rada tanya, kita selalu dihadapkan pada persoalan: “kenapa sehingga agama dalam beberapa kasus kerusuhan selalu diasumsikan sebagai kuda tunggangan politik atau keduanya harus bisa diidentifikasi secara proporsional kemurnian kerusuhan-kerusuhan tersebut, agamakah atau politik ?” Lalu, apakah beberapa konflik antar etnik selalu merupakan gambaran nyata "wajah" kesenjangan dan ketidakadilan sosio-ekonomi atau keduanya sungguh tidak semestinya dihubung-hubungkann? Demikian juga, betulkah tuntutan kemerdekaan di beberapa wilayah Republik ini relatif cukup dimengerti sebagai dampak langsung dominasi serta diskriminasi oleh dan terhadap orang/komunitas tertentu secara historis, politik, ekonomi, hukum dan budaya atau barangkali masih ada persoalan lain yang sengaja dikatupi lantaran kondisinya yang rentan?

Persoalan-persolan tersebut hingga kini masih seperti benang kusut, gamang. Belum ditemukan formulasi yang cocok untuk penyelesaiannya. Dan sejauh ini, kalaupun ada upaya ke arah itu maka cenderung sangat struktural, formalistik dan seremonial belaka. Karena pada dasarnya penyelesaian yang dipilih bak oleh pemerintah maupun para stakeholdernya selalu tidak berorientasi kedepan, tidak pernah berfikir apakah cara penyelesaiannya bisa menimbulkan maslah yang lain dikemudian hari atau tidak?. Contoh yang acap kali muncul ke permukaan adalah seperti perintah mencari kambing hitam, aktor intelektual atau provokator, pengerahan masa (banser, satgas atau pasukan jihad), pegelaran istighosah, ajakan memelihara persatuan dan kesatuan, tobat nasional, konsolidasi nasional, Indonesia berdzikir, paling buntut adalah rembug persaudaraan Indonesia dan entah apalagi nantinya.

Padahal, penyelesaian kompleksitas persoalan agama atau politik, etno sentris atau ketidakadilan sosial-ekonomi dan dominasi-diskriminasi atau merdeka tidak cukup diselesaikan dengan mengandalkan gerakan dan "teriakan" demikian. Secara tentatif, bentuk solusi struktural, formalistik dan serimonial ini hanya berdaya sebagai terapi psikologis memenuhi hajat politik, ekonomi, kemerdekaan, agama atau etnik komunitas yang berkonflik. Sekali lagi, upaya-upaya semacam itu tidak cukup mumpuni menyelesaikan persoalan dan bahkan cenderungan lebih terbuka bagi pengawetan dan penguatan potensi distorsi sosial atau jamrud chaos yang bakal tak berkesudahan (the endless conflict).

Pada plataran inilah tulisan ini mencoba menawarkan sebuah perspektif sebagai katalisator menerjemahkan berbagai problematika konflik sosial kebangsaan yang kompleks itu kedalam kerangka hubungan pluralisme (kebebasan beragama) dan berkeyakinan serta bagaimana seharusnya kita menyikapi kebhinekaan Indonesia dimasa sekarang dan yang akan datang. Tentu, dengan penuh harap tawaran ini nantinya mempunyai nilai positif yang bisa mengkonstruksi sebuah solusi (way ou)t berbagai konflik sosial kebangsaan yang tenjadi, disamping untuk pengembangan sebuah tata atau pandangan dunia wacana keberagamaan, kepelbagaian, kemajemukan (pluralisme) yang lebih akomodatif, kontekstual dan mempunyai visi kedepan.

Indonesia dan Masalah Pluralisme
Mengenal kemajemukan (pluralitas) tidak sama dengan mengakui, memahami, dan menyakininya sebagai suatu kenyataan yang mengandung kebajikan. Karena itu, perjuangan dalam menyebarluaskan nilai-nilai positif kemajemukan, tidak akan pernah kehilangan relevansi dan urgensinya.

Kenyataan sosiologis negeri ini menunjukkan bahwa euforia reformasi yang terjadi sekitar tahun 1998, telah membuka peluang kebebasan dan pengungkungan atas kebebasan sekaligus. Suara-suara bising (noisy voices) muncul dari hampir semua individu dan kelompok yang pernah terkekang beberapa dekade sebelumnya. Ekspresi yang mereka tunjukan bisa muncul berupa ceramah dan tulisan penuh kecaman dan hujatan, maupun aksi bersenjata, pemboman, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama salah satunya.

Melihat tingginya intensitas konflik yang terjadi yang berhubungan dengan pluralitas akhir-akhir ini, muncul pertanyaan mendasar ketika kita menyinggung hal tersebut, mengapa pluralisme bisa menjadi sumber konflik dan sulit untuk diatasi meskipun berbagai cara sudah ditempuh baik melalui usaha pemerintah maupun keagamaan?.

Faktor yang paling fundamental untuk menjawab pertanyaan diatas salah satunya adalah karena adanya ketegangan antara realita pluralis dengan pemikiran uniformis. Bahwa realita bangsa ini terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, budaya, agama, warna kulit dan strata sosial adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Tetapi, alih-alih berjuang demi menjaga keutuhan negara, sebagian kelompok justru mempunyai pandangan yang berbeda. Ada satu keinginan yang kuat dari sebagian mereka untuk menjadikan bangsa ini menjadi satu warna dan memaksa orang lain untuk mengikuti atau keluar dari kelompok mereka.

Ketegangan itu semakin diperkuat pula oleh pemahaman sempit sebagian orang akan makna pluralisme di Indonesia. Akibatnya, sikap terbuka dan pluralisme dalam bermasyarakat menjadi makin sulit terwujud. Tidak hanya sampai disitu, pemahaman makna dan maksud pluralisme dan kebebasan beragama pada level elite dan kaum terdidik pun masih bermasalah. Pada titik inilah pentingnya peran sinergis generasi muda dan tua dalam meluruskan kekeliruan berpikir (fallacies) tentang pluralisme.

Konflik-konflik sosial di atas, dalam konteks kehidupaan berbangsa jelas sekali merupakan sebuah "tamparan" keras atas citra cita pandangan yang selama ini melekat pada bangsa Indonesia, sebagai bangsa plural, berbudaya dan religius atau berperadaban. Betapa tidak, potensi, khazanah dan kerakteristik warga bangsa yang begitu potensial membangun sebuah tatanan hidup berbangsa yang apresiatif terhadap pluralisme, demokrasi dan hak azasi manusia akhirnya menjadi sesuatu yang kontra produktif. Ini jelas sangat memprihatinkan, patut disayayangkan karena ledakan konflik-konflik sosial tersebut adalah tragedi kemanusiaan (humanitarian disaster), kecelakaan dan nestapa sejarah bangsa Indonesia.

Sudah barang tentu, tanpa menegasi fakta pahit sejarah bangsa, adalah arif jika kesemua fakta itu dijadikan sebagai modus ponen pengembangan misi kemanusiaan atau -- yang oleh Benyamin Frenklin sesebutnya dengan instihah -- proyek kebajikan ke depan. Dan jika demikian adanya, maka yang menjadi pertanyan sekarang adalah masih potensialkah agama mengemban misi kemanusiaan atau proyek kebajikan itu? karena sosok seperti Sydney Hook misalnya meragukan dan mempertanyakannya: kalau agama itu memang benar namun tidak mempengaruhi para pemeluknya, lalu bagaimana membutikan kebenaran agama yang benar namun tidak mempengaruhi watak pemeluknya? Adakah agama itu masih seperti yang digambarkan A. N. Wilson, bahwa ia selalu mengajak kepada yang paling luhur, paling murni dan paling tinggi dalam jiwa manusia. Atau, secara otokritis harus dipertanyakan, apa guna beragama jika hanya untuk "berkonflik ria".

Kritik "padat makna" ini sudah pasti menghentak kesadaran religiusitas umat beragama secara emosional penuh ekstrim. Namun begitu, ada hal diluar kebiasaan yang harus dicandra dari kritik ini, bahwa cara pandang terhadap agama selamanya berimplikasi pada pereduksian makna agama itu sendiri. Tarulah, Wilfred Cantwel Smith yang lebih suka menggunakan istilah faith dari pada religion dalam memaknai agama. Atau dengan kata lain, agama pada tingkat ini jangan sampai lebih menonjolkan sisi eksklusifismenya, truth claime atau arogansi beragama. Dan bukan inklusifime, toleransi atau kearifan beragaman.

Kita mungkin tidak akan pernah sama sekali memiliki kebulatan tekad atau keberanian menjatuhkan vonis "silang" pada agama begitu saja. Walau itu juga tidak berarti bahwa kita harus kehilangan nyali untuk melakukan kritik terhadap cara pandang beragama. Kritik terhadap agama atau cara pandang beragama adalah kelaziman. Dan agama memang tidak kebal kritik, apalagi cara pandang beragama. Artinya, terlepasa dari adanya fakta yang menunjukan ketidakmampuan agama mempengaruhi pemeluknya atau bahwa agama mengajarkan tentang keluhuran, kemurnian dan ketinggian dalam jiwa manusia, agama dan cara pandang beragama tetap harus dikritisi? Kritik bagaimanapun akan selalu menjadi kebutuhan agama kapan dan dimanapun, karena hanya kritik yang mampu membuat agama dan cara pandang beragama dinamis dan diterima sebagai jalan hidup manusia. Kritik terhahdap agama dan cara pandang beragama merupakan ikhtiar pembebasan kesadaran, pencerahan dan penignkatan kualitas hidup manusia. Jadi kritik itu sendiri adalah keharusan beragama.

Olehnya itu, sudah menjadi tanggungjawab bersama untuk secara otokritik melakukan berbagai pembongkaran atau rekonstruksi terhadap cara pandang tokoh berikut penganut agama demi pengembangan misi kemanusiaan atau proyek kebajikan dimaksud. Artinya, semua agama harus memiliki kesamaan tanggung jawab misi tunggal yaitu memberi keselamatan bagi kehidupan umat manusia di dunia dan sesudahnya.

Berangkat dari itu semua, maka penguatan pemahaman terhadap pluralisme, kepelbagaian atau kemajemukan agama menjadi agenda yang intenstas sosialisasi harus terus ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Dalam pengertian, pertma agenda pluralisme sedapat mungkin menjangkau seluruh wilayah, dari kota higga pedalaman tanpa kecuali dan kedua metode-pendekatan sosialisasi yang digunakan hendaknya berorientasi pada peningkatan kadar kesadaran pemaknaan pluralime (agama) yang lebih holistik- susbtantif dan bukan kompartemental-sloganistis.

Pluralisme yang hilang
Sampai hari ini kenyataan pluralisme masih menjadi wacana yang relatif kontroversial bagi kebanyakan kalangan agamawan. Bahkan menurut Budhy Munawar-Rahma, pluralisme sudah merupakan salah satu masalah yang telah menyulut perdebatan abadi sepanjang masa. Betapa tidak, di satu sisi pluralisme secara relatif dipahami sebagai sebuah fenomena problematika sosial dari perjalanan sejarah manusia yang jika tidak disatukan, maka akan sangat potensial menyulut konflik berkepanjangan antar sesama manusia. Dan karena itu, untuk menghidarinya Tuhan kemudian dengan penuh kasih menurunkan agama sebagai jembatan bagi misi penyelamatan umat manusia dari konflik.

Pendeknya, semua umat manusia harus berada di bawah satu payung agama. Sementara pada sisi lain pluralisme di pahami sebagai sebuah kenyataan sisi kehidupan manusia yang bagaimanapun adanya tidak bisa dirubah meski oleh agama sekalipun. Agama tidak memiliki otoritas untuk mengadili kenyataan pluralisme. Agama dan pluralisme bukan sesekali merupakan dua relitas yang musti didudukkan secara vis a vis. Sehingganya, bagi setiap agama kenyataan pluralisme adalah sebuah god’s blessing. Dalam mana, pluralisme pada gilirannya akan bernilai kontributif bagi dinamika kehidupan dan keselamatan umat manusia, segenap pemeluk agama di dunia dan di akhirat.

Dalam sejarah agama dan peradaban manapun, jika dikritisi, maka konflik sosial yang terjadi cenderung disebabkan oleh pandangan pertama. Pandangan ini merupakan pandangan mainstream umat beragama. Sebagai contoh kasus misalnya adalah perang salib, perang antara umat Islam dan umat Kristen. Tidak bisa dipungkiri, bahwa fakta sejarah ini sedikit banyaknya telah memberikan andil kontributif bagi tumbuh suburnya sikap sentimental, kecurigaan berlebihan dan berkepanjangan di antara kedua belah pihak -- yang secara regeneratif terwariskan dengan baik hingga kini. Bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim fakta sejarah ini pulalah yang menjadi peyebab lahirnya doktrin klaim kepemilikan kebenaran (the truth claim) bagi agama tertentu dan menyalahkan agama lain. Pendeknya, sejara telah begitu memainkan peran dominan sekaligus determinan dalam mengkonstruksi sebuah cara pandang (welthangchaung, world view) beragama, yang kemudian memberikan kontribusi "miring" bagi pemeluknya dalam mengapresiasi pluralisme. Riskan sekali memang, karena cara pandang terhadap agama berikut fakta sejarah umat beragama yang mengikutinya ternyata terkadang nyaris tak ada bedanya dengan candu -- sebagaimana ungkap Karl Marks -- jika terlalu kasar untuk disebut racun. Dan untuk itu, harus dilakukan kinerja-kinerja intelektual yang seirus untuk penjernihannya.

Dalam sebuah karya kontrovesialnya berjudul Religious Dialoge and Revolution, Hasan Hanafi menawarkan tiga kritik yang harus dilakukan sebagai usaha kinerja intelektua itu: Pertama, melakukan kritik historis, yaitu kritik yang dilakukan terhadap sejarah hingga ditemukan mutivasi orisinil yang mengkonstruksi sebuah fakta sejarah. Kedua, keritik eidetik, yaitu krititk yang dilakukan terhadap kitab suci untuk mendapatkan orisinalitas pesan-pesan Tuhan dan bukan pesan-pesan yang dimanipulasi manusia. Dan Ketiga, kritik praxys, yaitu kritik yang dilakukan terhadap bentuk aksi keberagamaan yang selama ini berlangsung hingga ditemukan formula aksi yang orisinil pula. Ketiga kritik ini merupakan gagasan elaboratif-integralistik, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, satu kesatuan utuh dan sinergis. Ketiganya merupakan piranti paridigma yang "mumpuni" dalam melakukan kinerja intelektual mengkaji kemandulan cara pandang beragama dalam mengapresiasi kenyataan pluralisme.

Pandang Hasan Hanafi ini jelas sekali dan bertujuan mengajak semua kalangan agamawan untuk secara transparan melakukan otokritik terhadap setiap cara pandangan agama yang dianut, khususnya pluralisme. Bagaimana agar agama tidak dilihat sebagai sebuah fakta kebetulan sosiologi yang berhadap-hadapan dengan pluralisme, akan tetapi justru bagaimana agar hubungan keduanya dicandra sebagai sebuah kebenaran perenial, keharusan universal.

Persolannya kemudian adalah mampukah setiap kelompok agamawan atau penganut agama memenuhi tawaran gagasan kontroversial tersebut? Tidakkah tawaran itu hanya berdaya megundang kejenuhan, pesimisme dan utopisme kalangan agamawan? Akan tetapi, "plus-minus", begitulah pilihan yang harus diambil jika kita tidak menghendaki "tragedi kemanusiaan" terus berlanjut hanya karena persoalan ambiguisme cara pandangan beragama kita tentang pluralisme atau dosa konflik warisan sejarah dan seterusnya.

Menuju ke arah kinerja intelektual dimaksud, dengan cukup berani dan sarat kritik Alwi Shihab mencoba memberikan komentar tentang batasan pengertian pluralisme. Pertama, pluralisme tidak semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Ketiga, tidak dapat disamakan dengan relativisme dan Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkritisme, yang menciptakan agama baru dengan memadukan unsur tertentu.

Kritik Alwi ini kiranya relatif cukup bisa digunakan untuk mengkonstruksi sebuah frame kritik historis, eidetik dan praksis guna menentukan posisi harmoni agama atau cara pandang beragama dan pluralisme dimaksud. Bahwa, hubungan antara agama dan pluaralisme adalah sebuah hubungan kodrati, sehingga tidak cukup dibedah dengan hanya bermodalkan asumsi atas nama kemajemukan, kosmopolitanisme, relatifisme atau juga sinkritisisme agama. Namun lebih dari itu adalah bagaimana sikap apresiatif pandangan agama terhadap pluralisme bisa melembaga kedalam mentalitas para tokoh agama dan lebih-lebih lagi setiap umat atau pemeluk agama.

Pada kategori inlah, menurut Cak Nur, pluralisme tidak dapat dipahami dengan hanya mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang hanya menggambarkan kesan fragmentasi dan bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh difahami sekedar sebagai "kebaikan negatif" (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai "pertalian sejati dalam ikatan-ikatan peradaban" (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia.

Pluralisme sebagai potensi dan khazanah bangsa Indonesia hari ini kembali harus direkonstruksi jika bangsa Indonesia masih memiliki optimisme membangun sebuah tata warga bangsa madani yang apresiatif terhadap khazanah warga bangsa yang dimiliki. Harus ada komitmen kuat dari kalangan agamawan untuk menunjukan bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa beragama, berbudaya atau beradaban yang menghormati dan menjunjung tinggi pluralisme sebagai platform kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Slogan Bhineka Tunggal Ikanya (berbeda-beda tetapi tetap satu) harus implementatif dalam sikap hidup keseharian penganut agama.

Dalam potret demikian, maka segenap potensi bangsa terkhusus pemerintah secara proaktif harus diarahkan pada upaya terobosan melakukan pembenahan pengembangan kesadaran atas kenyataan pluralisme bagi warga bangsanya. Karena selama ini berbagai usaha yang dilakukan cenderung hanya bersifat klise atau semu. Apa yang terjadi selama ini justru merupakan sebuah proses pengkebirian terhadap makna pluralisme, seperti mobilisasi masa/organisasi menuju unifomisme dan nasionalisme "pucat". Bentuk-bentuk pendidikan warga bangsa dengan pola-pola seperti penataran P4 dalam berbagai bentuknya dan pemberlakukan azas tunggal (Pancasila) misalnya adalah dua contoh kasus dari kebanyakan kasus yang dapat dijadikan bukti pengingkaran akan potensi dan khazanah bangsa.

Bangsa ini memerlukan sebuah pandangan pluralisme sebagai langkah akomodatif terhadap pemeliharaan dan pengembangan khazanah potensi bangsa secara internal dan kontributif bagi sebuah padangan hubungan kemanusiaan antar pemeluk agama baik dalam konteks nasional dan mondial. Untuk itu, sosialisasi pluralisme sebagai suatu proses edukasi dari proyek kebajikan harus sebisanya diterjemahkan kedalam strategi pelembagaan kesadaran pluralisme menjadi mentalitas setiap umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Proses ini harus dimulai dengan usaha-usaha penanaman kesadaran pluralisme baik lewat lembaga-lembaga pendidikan formal, pelatihan-pelatihan advokasi dan yang lebih penting adalah bagaimana agar ada political will (kebijakan) pemerintah yang secara sungguh-sungguh mendukung proses penyadaran dimaksud secara serius dan sistematis. Misalkan saja, bagaimana agar supremasi hukum bisa menjadi garansi bagi pembangunan mentalitas pluralisme warga bangsa. Atau juga seperti gagasan Qasim Mathar, bahwa mungkin harus ada kinerja intelektual atau fatwa kalangan agamawan yang "mengharamkan" tindakan menegasi pluralisme oleh siapapun. "The only thing that we learn from history is that we never learn from it" (Betrend Russel).

Melestarikan Kehidupan Dunia
Ketika perubahan dan perkembangan mewarnai berbagai gerak kehidupan di bumi ini, tanpa tersadari telah datang kembali bentuk lain peradaban masa lalu. Jaman batu, ketika berlaku prinsip siapa yang kuat akan lebih memiliki kesempatan untuk hidup dibanding yang lemah. Hukum alam hutan belantara. Siapa kuat dia berkuasa. Yang lemah dimakan yang kuat. Dan hanya dengan begitu kehidupan akan berlanjut. Harimau akan tetap hidup bila memakan rusa. Rusa akan tetap hidup bila memakan rumput. Elang memakan ular, ular memakan kucing, kucing memakan ikan, ikan memakan cicak, cicak memakan nyamuk, nyamuk makan darah manusia, manusia memakan hampir seluruh jenis hewan dan tumbuhan. Itulah fakta kehidupan.

Di luar kehidupan politik yang memang sudah sangat ramah dengan hukum hutan belantara jaman batu tersebut, maka hampir semua manusia di planet bumi saat ini tidak lagi dengan mudah menjalani kehidupannya. Apalagi di kehidupan ekonomi, sosial, apalagi politik, bahkan menghirup udara bersih untuk bernafas, mendapatkan air bersih untuk minum, mencari makanan yang tak tercemari racun saja, bukanlah hal yang mudah dan sederhana.

Hukum Alam versus Kebutuhan Hidup
Bumi tempat semua mahluk ini diciptakan Sang Khalik, telah sedemikian lengkap dan sempurna untuk memenuhi segala kebutuhan mahluk penghuninya untuk hidup. Tanah, udara, air, flora dan fauna tersedia dengan jumlah yang tidak terbatas. Bahkan bagi manusia, hewan dan tumbuhan, kepunahan akan sebuah jenis akan berganti bentuk dengan jenis yang lain. Oleh karenanya kita sering menyebut adanya manusia, hewan ataupun tumbuhan purba; dan mungkin saatnya nanti, kita akan menjadi manusia-manusia purba pula. Kecuali Tuhan menetapkan datangnya kiamat, isi bumi ini tidak akan pernah punah. Bumi ini akan tetap lestari, namun dengan berbagai perubahan dan perkembangannya.

Bumi ini adalah kehidupan yang sebenarnya. Selalu berputar bagai sebuah siklus kehidupan. Selalu ada yang mati, namun selalu pula ada yang lahir. Bahkan sering lahir hewan ataupun tumbuhan dengan spesies yang baru, akibat perkawinan antar jenis yang berbeda. Mahluk bumi ini akan pula selalu mampu menyesuaikan diri dengan kondisi apapun yang terjadi. Untuk dapat tetap hidup, tidak jarang mahluk bumi ini menyesuaikan dirinya dengan cara merubah bentuk, bahkan kondisi organ tubuhnya. Kita sering menyaksikan hewan atau tumbuhan dengan jenis yang sama, namun bentuk dan daya tahan hidup yang berbeda. Kitapun sering lupa, bahwa manusiapun sebenarnya bisa berbeda dan hidup dengan cara yang berbeda pula, akibat menyesuaikan tempat di mana kita tinggal.

Pada dasarnya makhluk akan dengan sendirinya menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitar. Persoalan yang sering terjadi adalah karena manusia, hewan dan tumbuhan memiliki kepentingan yang mungkin berbeda dalam menjalani hidupnya. Kalau kita memiliki keyakinan yang sama akan kuasa Yang Maha Esa, sebenarnya manusialah mahluk yang diciptakanNya dengan kondisi paling sempurna diantara mahluk yang lain.

Manusia memiliki jiwa, raga, pikiran, serta akal yang jauh lebih sempurna dibandingkan mahluk lain. Oleh karenanyalah, manusia menjadi mahluk bumi yang akan paling mampu mempertahankan hidupnya. Itulah hukum alam, yang paling berkuasa akan menang. Manusialah sebenarnya faktor penentu utama kehidupan bumi ini, dibanding dengan mahluk Tuhan yang lain.

Manusialah yang paling dapat menentukan terjadinya keseimbangan didalam kehidupan bumi ini, sehingga kehidupan dan interaksi positif antar semua mahluk dapat terjaga. Sebelum kiamat, bumi akan tetap ada, namun karena ulah mahluk penghuninya, kehidupan dan interaksi diantaranya akan berubah, bahkan dapat menjadi negatif dan saling merugikan. Hewan akan menyerang manusia karena tempat hidupnya direbut. Manusiapun dapat kesulitan hidup, bila tidak ada tumbuhan yang melindunginya.

Manusia membutuhkan hewan, tumbuhan dan mahluk lain untuk dapat tetap hidup, dan demikian pula sebaliknya. Untuk itu semua makhluk tersebut haruslah lestari keberadaannya. Untuk dapat lestari, perlu keseimbangan diantaranya. Keseimbangan antar mahluk bumi haruslah terjaga, walau mungkin terjadi perubahan akan perilaku ataupun watak cara hidupannya.

Perubahan perilaku dan watak tersebut sangatlah mungkin terjadi akibat kebutuhan masing-masing untuk mempertahankan, ataupun meningkatkan kualitas kehidupannya. Sekali lagi, perilaku dan watak boleh berubah, namun keseimbangan haruslah tetap terjaga, karena isi bumi harus lestari.

Manusia Sebagai Penentu Utama
Sebagai makhluk yang lebih sempurna, manusia sering merasa menjadi pihak yang lebih berkuasa dari makhluk yang lain. Manusia sering khilaf terhadap kebutuhannya akan keberadaan mahluk lain. Perbuatan dengan akal yang baik sering dapat melahirkan manfaat, namun bila "akal-akalan", biasanya mudarat yang terjadi. Akal yang baik biasanya melatarbelakangi perbuatan yang bermanfaat bagi banyak pihak, namun karena kepentingan sendiri dan sempitlah yang melahirkan perbuatan "akal-akalan". Demikian pula yang akan terjadi di dalam roda kehidupan bumi ini. Manusialah penentu utama terjadinya keseimbangan di dalam kehidupan didunia ini.

Dengan kemampuannya berpikir dan melakukan berbagai tindakan, manusia memiliki kesempatan utama untuk mengatur, me-manage terbentuknya keseimbangan antara berbagai mahluk hidup, sehingga keberadaannya dapat lestari.

Dalam mengatur kebutuhan hidupnya sendiri, manusia paling memiliki kemampuan dan akal untuk dapat selalu hidup, survive. Harus diakui bahwa dengan kemampuan dan akal yang lebih inilah, manusia sering khilaf didalam memperlakukan berbagai mahluk Tuhan yang lain didunia ini.

Seperti menggunakan tumbuhan maupun hewan dengan cara yang yang salah karena lupa untuk selalu menjaga kelestariannya, walau dengan alasan untuk mempertahankan kehidupannya. Manusia sering khilaf untuk mengakui bahwa sebenarnya kelestarian mahluk lain tersebut adalah faktor terpenting dari kelestarian kehidupan manusia itu sendiri.

Belajar Bernegara Kembali
Melihat kenyataan yang terjadi, tampaknya kita harus kembali belajar bernegara. Karena beberapa peristiwa yang terus memanas akhir-akhir ini sudah cukup menjadi bukti betapa banyak kelompok di negeri ini yang gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Indonesia.

Konstitusi kita jelas-jelas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD 1945: Pasal 29, Ayat 2). Tapi, para tokoh agama negeri ini justru lebih sering melecehkan rumusan itu dengan mengintimidasi dan melakukan tindakan kekerasan. Daripada mencoba memahaminya sebagai sesuatu yang mempunyai nilai kemanusiaan yang sangat tinggi.

Sebagai generasi muda, agaknya kita memang harus belajar lagi tentang Indonesia kita, mengkaji ulang tentang cita, harapan serta semangat yang tertanam dalam jiwa para founding fathers negeri ini, juga tentang bagaimana membangun sebuah negara modern yang bisa membawa kedamaian dan keberkahan bagi umat yang menghuninya.

Negara modern, dalam konsensus ilmuwan politik dan umat manusia kini, tidak bisa lagi dibangun atas dasar ideologi keagamaan tertentu, apalagi yang sendi-sendinya diambil dari abad pertengahan. Negara modern membutuhkan aturan dan perundang-undangan yang dibuat serasional mungkin dengan memperhatikan semua elemen didalamnya.

Pancasila yang sedari dulu dijadikan falsafah hidup dalam bernegara, seharusnya terus dipertahankan. Karena dari situlah kita bisa mulai belajar untuk mengenal kemajemukan negeri ini, mulai menghargai orang lain, belajar tentang kemanusiaan dan yang lainnya. Kita jangan lagi terjebak dalam urusan fatwa, rancangan undang-undang yang ga jelas juntrungannya, atau memilih menghabiskan energi kita untuk mencari kebenaran agama yang; lazimnya menjadi soal pribadi setiap warga Negara.

Saat ini, meluruskan pemahaman masyarakat tentang pluarisme lebih penting adanya. Karena hidup memang bukan hamparan warna yang seragam. Kita pasti berbeda, tapi perbedaan yang kita punya bukan untuk dibandingkan semata, melainkan untuk disandingkan, karena dari perbedaan itulah kita bisa saling menghargai dan saling melengkapi. Bukan untuk saling memperdayai. Tentunya semua itu harus selalu kita iringi dengan memohonkan lindungan dan pertolongan Yang Maha Esa, agar usaha manusia yang serba terbatas ini dapat berhasil demi kelangsungan hidup generasi bangsa Indonesia dan bumi tanah air tercinta, Indonesia Raya. Karena manusia beriman dalam arti yang sebenarmya semestinya mengikuti pola kehidupan Nabi dan sahabatnya yang selalu menghormati orang lain. Inilah contoh orang-orang saleh yang perlu kita renungkan dalam kehidupan sekarang ini.

Ajaran Islam yang humanis sebagaimana dipaparkan diatas adalah paradigm utama untuk mendasari upaya membangun visi bersama ditengah kemajemukan . “Indonesia tanpa pagar” (meminjam istilah budayawan Darmanto Jatman) haruslah dijadikan sasaran bersama dan agenda utama pluralisme umat beragama di Indonesia, yang merupakan sebuah bangsa yang hidup ditengah-tengah masyarakat internasional yang sedang berada dalam global trends and ethics. Indonesia harus menyesuaikan diri dengan etika global ini seperti demokratisasi, pluralism dan sebagainya. Sangat relevan tulisan ini saya pungkasi dengan syair-syair teolog dan filsuf jerman, Hanskung:

Not just freedom, but also justice
Not just equality, but also plurality
Not just brotherhood, but also sisterhood
Not just coexistence, but peace
Not just productivity, but solidarity with the environment
Not just toleration, but ecumenism
(Hanskung: global trends and ethics: 1999)
Wallahu ‘Alam bissowab!!!
Previous
Next Post »

1 comments:

Click here for comments
Monday, August 24, 2009 ×

semangat terus sehatnya kompetii di Indonesia bos

Selamat re-saintazkiya dapat PERTAMAX...! Silahkan antri di pom terdekat heheheh...
Balas
avatar
admin
Post a Comment
Thanks for your comment