Privatisasi Krakatau yang Kacau (Repost)

LAMBAN benar Kementerian Badan Usaha Milik Negara memahami kaidah pasar saham. Kisruh privatisasi PT Krakatau Steel tak perlu terjadi bila Kementerian BUMN menyimak kekacauan privatisasi PT Semen Gresik 19 tahun silam dan PT Indosat pada 2002. Selain kurang menguasai mekanisme kerja pasar, Kementerian terlambat menyerap aspirasi publik, yang tak ingin aset negara dijual, apalagi dengan harga murah.

Privatisasi Krakatau lewat metode penjualan saham kepada masyarakat (initial public offering) sudah tepat. Cara ini lebih baik ketimbang privatisasi melalui penjualan saham kepada investor strategis, seperti ArcelorMittal dari India, yang mengajukan tawaran, dua tahun lalu. Selain harga yang diajukan terlalu rendah, merebak sentimen luas berbau "nasionalistis" bila aset strategis jatuh ke tangan asing.

Dari segi kepemilikan, penjualan 20 persen saham Krakatau Steel ini cukup baik. Pemerintah tetap menjadi pemilik mayoritas. Dominasi asing tak terjadi karena mereka hanya kebagian 7 persen, sedangkan 13 persen lainnya dimiliki investor lokal.
Sayang, Kementerian BUMN, sebagai wakil negara, ragu dan tak cermat menetapkan harga jual. Mengacu pada hasil book building-penentuan harga saham mirip lelang-diketahui bahwa kisaran awal penawaran investor antara Rp 850 dan Rp 1.150. Kementerian semula setuju menetapkan harga jual Rp 850 per lembar. Dengan harga itu, Krakatau Steel diperkirakan bisa menggaet banyak investor jangka panjang tanpa "membunuh" investor kecil. Tapi masyarakat menilai harga yang disetujui Kementerian BUMN itu kelewat murah. Protes pun berdatangan.
Pokok soalnya, Kementerian terburu-buru menerima usulan harga dari penjamin pelaksana emisi-tiga perusahaan sekuritas milik negara dan dua perusahaan sekuritas asing. Kementerian sejak awal mestinya ngotot minta harga lebih tinggi, misalnya Rp 950. Harga inilah yang paling mendekati nilai buku Krakatau Steel dan mencerminkan proyeksi laba produsen baja lokal terbesar itu, yakni Rp 1,3 triliun dengan aset Rp 19 triliun. Harga itu juga masih memberikan ruang lebar kepada investor jangka panjang, juga flipper alias pemain saham jangka pendek.
Usaha Menteri BUMN merevisi harga menjadi Rp 950 sudah terlambat. Harga Rp 850 telanjur ditandatangani dan mengikat secara hukum. Revisi harga, yang konon belum pernah terjadi di dunia pasar saham, akan mengundang risiko gugatan dari investor. Kredibilitas pemerintah dan bursa saham bisa-bisa rontok di mata dunia.
Situasi yang hiruk-pikuk itu semakin gaduh setelah banyak investor besar lokal mengaku tak mendapat jatah saham sesuai dengan pesanan. Seperti biasa, yang muncul adalah suara miring: saham diblok organisasi politik. Benar-tidaknya dugaan ini baru bisa diketahui setelah proses audit selesai.
Dalam jangka pendek, proses pemesanan dan penjatahan saham perlu dibuat terang. Aturan hukum privatisasi harus dilengkapi. Saat ini petunjuk teknis hanya diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2009. Belum ada aturan mendetail tentang pemesanan dan penjatahan. Mekanismenya tertutup. Kementerian BUMN dan penjamin pelaksana emisi bisa "sesuka hati" menentukan pembeli.
Privatisasi Krakatau Steel akan diperiksa oleh auditor independen yang ditunjuk pengelola bursa. Tapi tak ada salahnya Badan Pemeriksa Keuangan ikut turun menelusuri privatisasi ini. BPK bisa menggandeng Badan Pengawas Pasar Modal untuk melakukan audit investigatif. Kongkalikong wajib dipastikan tak terjadi kali ini, juga dalam privatisasi BUMN yang masih antre dalam daftar panjang.
Source; Taken from Tempo
Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment