Pluralisme; Harga Mati Untuk Indonesia

Oleh: Bambang Rismayanto
Note: Tulisan ini sudah saya posting sebelumnya, sengaja diposting kembali untuk menyikapi beberapa persoalan krusial bangsa ini. Mudah2an banyak yang baca, terutama bagi beliau yang mengaku2 orang Islam seperti FPI

Hidup memang bukan hamparan warna yang seragam. Kita pasti berbeda, karena dengan perbedaan kita bisa saling menghargai dan saling melengkapi. Celakanya, justru dengan perbedaan itu pula banyak orang yang justru menikam sesamanya. Disetiap golongan, orang bisa saja tenggelam dalam tindak kejahatan yang mengerikan. Tetapi segalanya lebih bergantung pada kehendak. Karena baik buruk perangai kita, bermula dari kehendak kita.
Penggalan paragraf diatas setidaknya mewakili kegamangan para kaum muda penggiat pluralisme saat ini. Wacana pluralisme dari hari kehari memang terus bergulir, banyak seminar, diskusi, kajian dan event-event yang sudah dilakukan baik dalam skala nasional maupun internasional untuk memberikan pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang makna pluralisme yang sesungguhnya.



Pada awalnya gerakan seperti ini memang mendapat penentangan yang lumayan signifikan dari sebagian kelompok. Tapi hal itu harus disikapi secara sederhana dan terbuka, bahwa sebesar apapun rintangan yang dihadapi, pluralisme harus terus dibumikan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menyebar luaskan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya sikap optimis dalam menghadapi kemajemukan bangsa sebagai penyokong proses demokrasi dibumi ini. Terlebih dalam lingkup Islam, penyebarluasan wacana pluralisme yang berbasis pesan-pesan dasar Islam, dapat menumbuhkan sikap keberagaman yang terbuka, serta membangun jaringan inteligensia antar umat di seluruh Indonesia.
Landasan pemikiran diatas dirasa sangat penting melihat banyaknya pertentangan wacana, gerakan politik dan konflik yang terjadi di masyarakat kita saat ini. Meski revolusi komunikasi dan informasi telah meningkatkan kesadaran akan kemajemukan masyarakat pada semua level, ternyata pada kenyataannya masih banyak kelompok ataupun individu yang belum menganggap kemajemukan sebagai kenyataan yang positif dan harus disikapi secara arief dan bijaksana demi menjaga kesatuan bangsa Indonesia yang sudah dicitakan para leluhur bangsa ini sejak dahulu kala.
Indonesia dan Masalah Pluralisme
Mengenal kemajemukan (pluralitas) tidak sama dengan mengakui, memahami, dan menyakininya sebagai suatu kenyataan yang mengandung kebajikan. Karena itu, perjuangan dalam menyebarluaskan nilai-nilai positif kemajemukan, tidak akan pernah kehilangan relevansi dan urgensinya. Kenyataan sosiologis negeri ini menunjukkan bahwa euforia reformasi yang terjadi sekitar tahun 1998, telah membuka peluang kebebasan dan pengungkungan atas kebebasan sekaligus. Suara-suara bernada miring banyak bermunculan dari hampir semua individu dan kelompok yang pernah terkekang beberapa dekade sebelumnya. Ekspresi yang mereka tunjukan bisa muncul berupa ceramah dan tulisan penuh kecaman dan hujatan, maupun aksi bersenjata, pemboman, penyerbuan massal, intimidasi fisik dan psikologis, serta pemaksaan mengikuti aliran agama salah satunya.
Melihat tingginya intensitas konflik yang terjadi yang berhubungan dengan pluralitas akhir-akhir ini seperti kasus terbaru mengenai kelompok Ahmadiyah yang sudah dilarang untuk melakukan aktifitas oleh negara, kemudian penyerangan masa Front Pembela Islam (FPI) beserta para Laskarnya, muncul pertanyaan mendasar ketika kita menyinggung hal tersebut, mengapa pluralisme bisa menjadi sumber konflik dan sulit untuk diatasi meskipun berbagai cara sudah ditempuh baik melalui jalur pemerintah maupun keagamaan?.
Faktor yang paling fundamental untuk menjawab pertanyaan diatas salah satunya adalah karena adanya ketegangan antara realita pluralis dengan pemikiran uniformis. Bahwa realita bangsa ini terdiri dari berbagai macam suku, bahasa, budaya, agama dan strata sosial adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Tetapi, alih-alih berjuang demi menjaga keutuhan negara, sebagian kelompok justru mempunyai pandangan yang berbeda. Ada satu keinginan yang kuat dari sebagian mereka untuk menjadikan bangsa ini menjadi satu warna dan memaksa orang lain untuk mengikuti atau keluar dari kelompok mereka.
Ketegangan itu semakin diperkuat pula oleh pemahaman sempit sebagian orang akan makna pluralisme di Indonesia. Akibatnya, sikap terbuka dan pluralisme dalam bermasyarakat menjadi makin sulit terwujud. Tidak hanya sampai disitu, pemahaman makna dan maksud pluralisme dan kebebasan beragama pada level elite dan kaum terdidik pun masih bermasalah. Pada titik inilah pentingnya peran sinergis generasi muda dan tua dalam meluruskan kekeliruan berpikir (fallacies) tentang pluralisme.
Belajar Bernegara Kembali
Melihat kenyataan yang terjadi, tampaknya kita harus kembali belajar bernegara. Karena beberapa peristiwa yang terus memanas akhir-akhir ini sudah cukup menjadi bukti betapa banyak kelompok di negeri ini yang gagal memahami falsafah dasar negara kita. Pernyataan dan tindakan mereka sudah jelas-jelas bertentangan dengan Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konstitusi bangsa ini jelas-jelas menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu” (UUD 1945: Pasal 29, Ayat 2). Begitu juga dengan pancasila sebagai dasar atas didirikannya negeri ini. Para founding father bangsa ini sudah jauh-jauh hari merancang dengan sedemikian rupa bagaimana cara mempersatukan bangsa Indonesia yang sangat majemuk dalam bingkai pancasila. Tapi, saat ini para tokoh agama negeri ini justru lebih sering melecehkan rumusan itu dengan mengintimidasi dan melakukan tindakan kekerasan. Daripada mencoba memahaminya sebagai sesuatu yang mempunyai nilai kemanusiaan yang sangat tinggi.
Sebagai generasi muda, agaknya kita memang harus belajar lagi tentang Indonesia kita, mengkaji ulang tentang cita, harapan serta semangat yang tertanam dalam jiwa para founding fathers negeri ini, juga tentang bagaimana membangun sebuah negara modern yang bisa membawa kedamaian dan keberkahan bagi umat yang menghuninya. Sebab negeri ini didirikan bukan atas jasa satu golongan agama, ras atau suku.
Negara modern, dalam konsensus ilmuwan politik dan umat manusia kini, tidak bisa lagi dibangun atas dasar ideologi keagamaan tertentu, apalagi yang sendi-sendinya diambil dari abad pertengahan. Negara modern membutuhkan aturan dan perundang-undangan yang dibuat serasional mungkin dengan memperhatikan semua elemen didalamnya.
Pancasila yang sedari dulu dijadikan falsafah hidup dalam bernegara, seharusnya terus dipertahankan. Karena dari situlah kita bisa mulai belajar untuk mengenal kemajemukan negeri ini, mulai menghargai orang lain, belajar tentang kemanusiaan dan yang lainnya. Kita jangan lagi terjebak dalam urusan fatwa, rancangan undang-undang yang tidak jelas juntrungannya, atau memilih menghabiskan energi kita untuk mencari kebenaran agama yang lazimnya menjadi soal pribadi setiap warga negara dan menjadi hak masing-masing sebagai individu bebas dan merdeka.
Saat ini, meluruskan pemahaman masyarakat tentang pluarisme lebih penting adanya. Karena hidup memang bukan hamparan warna yang seragam. Kita pasti berbeda, tapi perbedaan yang kita punya bukan untuk dibandingkan semata, melainkan untuk disandingkan. Dari perbedaan itulah kita bisa saling menghargai dan saling melengkapi. Bukan untuk saling memperdayai. Karena seperti halnya dalam Islam, agama seharusnya menjadi ”rahmatan lil ’alamin” atau rahmat bagi seluruh alam semesta, yang bisa memberika kenyamanan bagi setiap pemeluknya untuk menjalankan kewajibannya dimanapun dia berada.
wallahu 'alam bissowab..
Previous
Next Post »

3 comments

Click here for comments
Anonymous
Friday, June 06, 2008 ×

tulisan yang sangat sekuler dan liberal. dari Tulisan anda, sayapun menjadi seorang pemimpi, bahwa islam tidak akan pernah tegak dinegeri ini.

saya salut dengan jalan pikiran pluralitas anda yang menyingkirkan religius anda demi sebuah plural.

dan akhirnya saya jadi sadar. perjuangan menegakan Dinul Islam di muka bumi ini ternyata banyak musuhnya, bukan cuma umat yang lain, namun dari dalam tubuh umat islam sendiri bermunculan tokoh2 munafikun yang cuma duduk diam tak bergerak melihat agama ini di injak2. namun ketika ada segelintir orang yg tergerak hatinya memerangi kemaksiatan karena hukum yang memble. langsung dicerca, dimaki, dihujat. karena katanya melanggar hak asasi manusia, melanggar kebebasan, melanggar demokrasi, melanggar pancasila.

ya Allah sungguh banyak sekali orang2 munafik yang tumbuh subur di Agamamu yang suci ini.

wallahu 'alam bissowab..

Balas
avatar
admin
Saturday, June 07, 2008 ×

Untuk Anda yg mengaku namanya muslim...

Mari diskusi soal Islam dan bagaimana cara beragama yang baik dengan saya... saya tidak merasa orang suci, tapi saya hanya belajar menyayangi semua orang, membuka pandangan picik seseorang tentang konsep bangsa ini yang sebenarnya. ingat, bangsa ini bukan milik satu golongan, tapi semua umat berhak tinggal dibumi ini.
Berdakwah ttg ajaran agama masing2 adalah suatu kewajiban, tapi semuanya bisa ditempuh dengan jalan yg lebih elegan, bukan melakukan kerusuhan anarkisme dan tindakan intimidasi.. coba sekali2 posisikan diri anda di posisi orang lain... apa yang akan anda rasakan...seandainya anda dilahirkan bukan sebagai seorang muslim...?????

Balas
avatar
admin
Anonymous
Saturday, June 28, 2008 ×

anda termasuk orang sombong dan egois yang pernah saya kunjungi. terima kasih.

Balas
avatar
admin
Post a Comment
Thanks for your comment