Ugh…Cermin Pendidikan Q’ta

Tulisan ini saya mulai dari persepsi penulis tentang filosofi bangsa ini mengenai pendidikan sebagai alat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahwa atas dasar filosofi tersebut manusia Indonesia seharusnya sudah mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga tidak ada lagi rakyat yang terbelakang, bodoh dan buta hurup karena tidak bisa mengenyam bangku pendidikan.

Telah dipahami oleh para pendidik bahwa misi pendidikan adalah mentranspormasikan ilmu dari generasi ke generasi selanjutnya. Ilmu yang dimaksud antara lain: pengetahuan, tradisi, dan nilai-nilai budaya (keberadaban). Secara umum penularan ilmu tersebut telah di emban oleh orang-orang yang terbeban (concern) terhadap generasi selanjutnya. Mereka diwakili oleh orang yang punya visi kedepan, yaitu menjadikan generasi yang lebih baik dan beradab. Seperti sudah direkam peradaban kuno yang mencatat methode penyampaian ajaran lewat tembang dan kidung, puisi ataupun juga cerita sederhana yang biasanya tentang kepahlawanan.

Akan tetapi realitas yang terjadi di negeri ini sering tidak sesuai degan yang kita harapkan. Kemiskinan dan keterbelakangan sosial dalam masyarakat bawah nyatanya masih belum mau pergi dari bumi pertiwi. Disaat negara lain terus berpacu dalam persaingan ilmu pengetahuan, mempromosikan hasil-hasil penelitian mereka tentang tekhnologi yang paling mutakhir, seperti yang dilakukan beberapa ilmuwan asing untuk mempromosikan wisata angkas yang menghabiskan ratusan juta dollar, bangsa Indonesia justru terus disibukan pada penyelesaian persoalan internal yang terjadi terus menerus dan selalu berkutat pada masalah yang sama.

Peran negara dalam pendidikan diprihatinkan

Melihat dunia pendidikan di Indonesia saat ini, kita seperti dihadapkan pada sebuah loop atau lingkaran setan yang njelimet, seperti halnya benang kusut yang basah dan tidak jelas ujungnya. Sangat susah bagi kita untuk melihat secara jelas dimana titik yang harus diperbaiki, dan semua elemen mempunyai peran yang tidak kalah pentingnya dalam mengantarkan pendidikan Indonesia menjadi seperti saat ini.

Masalah yang datang memang seperti beruntun, mulai dari pengalokasian anggaran pendidikan yang setengah-setengah, kebijakan pemerintah untuk melakukan liberalisasi dibidang pendidikan dengan cara desentralisasi dan privatisasi sekolah, sertifikasi guru yang dianggap hanya sebatas proyek saja, kurikulum yang selalu berubah-ubah, hingga masalah yang sedang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini tentang urgensi Ujian Nasiona (UN) yang terus menuai protes dari berbagai pihak.

Disatu sisi, masalah dunia pendidikan di Indonesia yang terjadi selama ini memang dapat dijadikan sebagai sebuah proses pembelajaran kedepan yang sangat berharga untuk menghadapi tantangan dimasa yang akan datang. Tapi disisi lain, ketidaksiapan dan kurangnya sense of belonging dari para punggawa bangsa ini dalam menyelesaikan masalah pendidikan menyebabkan tidak adanya hasil yang signifikan. Bahkan kalau kita cermati secara teliti lagi masalah yang sama cenderung terulang dimasa yang akan datang, sehingga ekses dari masalah-masalah tersebut seolah menjadi sebuah bom waktu yang bisa meledak kapan saja dan dapat menciderai siapapun.

Today’s Problems Come from Yesterday's "Solution"

Dalam catatan Peter M. Senge seorang penulis buku best seller The Fifth Discipline “the art and practice of learning organization”, dikatakan bahwa setiap masalah yang timbul akhir-akhir ini ternyata tidak semata-mata timbul dari apa yang kita lakukan saat ini, akan tetapi semua itu lebih disebabkan karena cara penyelesaian-penyelesaian yang dilakukan oleh para police maker sebelumnya tidak dilakukan dengan cara yang tepat dan benar. Kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa lampau dalam usaha menangani masalah yang terjadi saat itu tidak berorientasi kepada perbaikan yang lebih jauh. Semua orang hanya sampai pada pikiran bagaiman cara menyelesaikan masalah hari ini, tapi tidak kemudian berfikir apakah penyelesaian hari ini akan berdampak positif atau negative dimasa yang akan dating.

Sebagai contoh, mari kita tengok sedikit perjalanan sejarah pendidikan Indonesia beberapa tahun kebelakang. Kebijakan pemerintah untuk melakukan liberalisasi di bidang pendidikan dengan cara desentralisasi dan privatisasi sekolah berpengaruh besar pada menurunnya kemampuan masyarakat untuk menyekolahkan anaknya.

Kebijakan pemerintah ini sebenarnya tidak akan menjadi masalah yang signifikan pada saat jika pemerintah terjun langsung kedalam masyarakat dan melihat secara proporsional masalah yang terjadi saat itu. Lihat saja jajak pendapat yang diterbitkan kompas 29 April 2005 misalnya, hampir seluruh responden (92 persen) menyatakan ketidaksetujuan mereka jika pemerintah tidak lagi mengurusi subsidi biaya sekolah. Terlepas dari apakah pembiayaan itu akan diambil alih oleh keuangan pemerintah pusat atau daerah, masyarakat mengkhawatirkan lepasnya peranan pemerintah akan meningkatkan beban pembiayaan yang harus ditanggung untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Alasan yang sangat rasional bagi masyarakat saat ini, sebab jika kita lihat data tim Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas yang menyebutkan, selama ini porsi pembiayaan yang ditanggung orang tua siswa mencapai 53-73 persen dari total biaya pendidikan. Tingginya biaya pendidikan ini dibandingkan dengan kemampuan masyarakat, misalnya, terlihat jelas dari munculnya ratusan ribu anak putus sekolah setiap tahunnya. Tahun 2003/2004, sebanyak 702.066 siswa terpaksa putus sekolah di jenjang SD. Demikian juga tidak kurang dari 271.948 siswa putus sekolah di jenjang SMP.

Kecenderungan berkurangnya peranan pemerintah terhadap berbagai persoalan pendidikan dengan sendirinya berpotensi memperbesar porsi biaya yang harus ditanggung oleh orang tua murid. Ironis memang, mengingat UU dan UUD 1945 sendiri mengamanatkan pendidikan yang gratis khususnya untuk pendidikan dasar di negeri ini.

Peninjauan Ulang Kebijakan UN

Keputusan pemerintah untuk tetap menggelar hajatan Ujian Nasional tahun ini masih menyisakan perdebatan yang sangat serius, baik dikalangan pemerintah sebagai pembuat kebijakan (police maker), para guru dan kepala sekolah sebagai orang yang berada dilapangan dan bersentuhan langsung dengan proses pendidikan (stake holder), mahasiswa bahkan bagi masyarakat umum.

Alasan pemerintah untuk tetap mempertahankan UN sebagai alat ukur kemajuan pendidikan dalam sekala nasional agaknya harus ditinjau kembali. Karena keberhasilan seorang siswa yang menempuh jalur pendidikan selama 9 tahun sangatlah tidak fair jika divonis keberhasilannya dengan hasil UN dan tidak mengindahkan proses yang sudah dijalani sebelumnya. Lebih jelas lagi kalau kita saksikan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi selama UN berlangsung.

Lebih baik makan durian dari pada mendengar enaknya buah durian.

Pribahasa diatas dirasa cocok ditunjukan kepada orang-orang yang sedang mengemban amanah rakyat saat ini. Sebab untuk memutuskan suatu kebijakan yang berhungan dengan keberlangsungan hidup khalayak ramai, tentunya yang dibutuhkan bukan hanya melihat permasalahan dari kejauhan, tetapi terjun dan melihat secara langsung masalah yang terjadi dimasyarakat akan lebih baik, dan keputusan yang diambilpun akan sesuai dengan harapan masyarakat serta berorientasi kepada masa depan.

Hal diatas dimaksud untuk melatih daya kritis, analisis para pengambil keputusan dengan menggunakan logika yang teratur guna memperkuat akal budinya. Sehingga tidak ada lagi kekecewaan masyarakat yang berkelanjutan akibat kebijakn yang diambil pemerintah, serta tidaka ada lagi kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan masalah hari ini yang tidak berorientasi pada masa depan yang akan dijalani. Karena manusia tidak hanya hidup untuk hari ini

Teory Vs Praksis

Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama. Dari gambaran diatas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim social budaya dan politik ikut berperan. Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri.

Seperti Peter Drucker yang melihat pergeseran kebutuhan manusia dari ekonomi yang berbasiskan benda tak bergerak dan jasa menuju ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan, dan perlu direnungkan. Lebih jauh Drucker mengemukakan bahwa tahapan agraris, industri dan kini informasi adalah tidak lama lagi tergeser pada era inovasi. Tentang Apa itu inovasi itu dan persyaratannya, adalah bahan pekerjaan rumah bersama. Bila generasi kita saat ini stress gara-gara tidak tahu bahasa sundanya anak kambing, atau yang lainya. Jangan saling menyalahkan bila kemudian hari negara Indonesia tercinta ini menjadi negara terbelakang yang menunggu petunjuk, menunggu pemerintahannya waras, menunggu dan menunggu.




Previous
Next Post »
Post a Comment
Thanks for your comment